Jendral-Hoegeng


Tak Goyah Iman Meski Akan Diberi Berbagai Fasilitas Yang Menggiurkan, Itulah Jendral Hoegeng Imam Santoso

Sifat lurus Hoegeng telah terbentuk sejak kariernya di kepolisian masih di jenjang bawah. Harga diri Hoegeng sebagai pejabat negara pernah diuji saat dirinya ditugaskan di Medan. Pada 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kadit Reskrim Kantor Polisi Propinsi Sumatra Utara.

“Saya ditakdirkan bertugas di wilayah kerja yang dimitoskan sebagai wilayah ‘test case’ yang berat di Indonesia itu,” 



Wilayah Sumatra Utara saat itu tergolong rawan. Tindakan kriminal seperti penyelundupan, korupsi dan perjudian sedang marak-maraknya. Untuk membereskan itu Jaksa Agung Soeprapto menugaskan Hoegeng, dan segera disetujui oleh Kepala Kepolisian Negara Soekanto.

Kolega Hoegeng di kepolisian memperingatkannya agar berhati-hati. Telah menjadi rahasia umum, diMedan, pejabat negara dapat dibeli oleh kelompok pengusaha Tionghoa yang menjalankan bisnis gelap. Bisnis itu bisa menggeliat karena ada backing dari oknum tentara atau kepolisian.  Hoegeng sempat memikirkan kesiapannya namun pada akhirnya dia mantap berangkat ke Medan.   

Hoegeng selalu ingat pesan ayahnya untuk selalu menjaga nama baik.   

Dan benar adanya, baru saja berlabuh di Pelabuhan Belawan, Hoegeng langsung disambut dengan acara “Selamat Datang yang Unik”. Seorang Tionghoa bertubuh gemuk menghampiri dirinya ketika hendak menuju tempat penginapan sementara. Hoegeng lupa siapa namanya namun orang Tionghoa itu memperkenalkan dirinya sebagai “Ketua Panitia Selamat Datang”.

Dengan penuh keramahan, Ketua Panitia itu menyatakan kegembiraan atas pengangkatan Hoegeng sebagai pejabat baru di Medan. Selanjutnya dia menawarkan rumah dan mobil untuk membantu Hoegeng bertugas. Mendapat iming-iming itu Hoegeng mengucapkan terimakasih tapi menolak pemberian tersebut. Orang Tionghoa itu pun tak menduga atas penolakan yang dilakukan Hoegeng, dan diapun hanya bisa melongo lalu pamitan.

Upaya untuk menyuap Hoegeng tak berhenti. Dua bulan kemudian, orang yang sama “mengerjai” rumah dinas Hoegeng, di Jalan Rivai 26. Hoegeng mendapat kiriman perabotan rumah tangga yang serba mahal. Barang-barang itu antara lain: piano, lemari, meja dan kursi tamu, bufet, meja makan, kulkas, tape rekorder, dipan-dipan jati, dan entah apalagi.     

 “Cina tukang suap itu memang badung,” kata Hoegeng


Dia mengultimatum Tionghoa yang pernah menyambutnya di Belawan waktu itu agar mengeluarkan barang tersebut dari rumah dinasnya. Namun hingga waktu yang ditentukan, barang sogokan itu belum juga diambil. Hoegeng pun habis kesabaran. Dia memerintahkan anggota kepolisian bersama sejumlah kuli untuk mengeluarkan perabotan mewah itu dan meletakkannya di pinggir jalan.

Menurut Hoegeng, seluruh pendapatannya sebagai polisi barangkali tidak dapat membeli barang-barang itu. Memutuskan untuk membuang barang-barang pemberian itu agak disayangkan juga oleh Hoegeng. 

“Akan tetapi itu lebih baik ketimbang saya melanggar amanah almarhum ayah saya dan mengkhianati sumpah jabatan sebagai penegak hukum di Republik ini,” tutur Hoegeng  

( Otobiografi Hoegeng )

Baca Juga